Home Opini

Ketika Bayang-Bayang Curang Tercium dalam Proses Lelang Di Kabupaten Blora

by Media Rajawali - 20 September 2025, 21:46 WIB

  • Oleh : Budi Hartono 

Blora - Proses lelang di lingkungan pemerintah daerah kembali tercoreng oleh dugaan kecurangan. Kali ini, kasus muncul di Kabupaten Blora dalam seleksi jasa konsultansi survei kondisi jalan pada empat UPT. Perseteruan antara PT Konindo Panorama Konsultan dan PT Tri Patra Konsultan membuka ruang diskusi lebih luas: benarkah sistem pengadaan barang/jasa sudah transparan, atau sekadar formalitas yang menyamarkan praktik lama?

Jika mencermati data LPSE, mekanisme sudah dijalankan sesuai prosedur. Skor teknis dan harga menjadi dasar penetapan pemenang. Namun, di balik angka-angka itu, PT Konindo merasa diperlakukan tidak adil. Mereka menilai ada “rekayasa” penilaian teknis yang merugikan posisi mereka. Bahkan, isu kian keruh dengan munculnya figur berinisial JH, yang dikabarkan menjanjikan kemenangan dengan imbalan 10 persen.

Fenomena ini bukan hal baru. Dunia pengadaan di tanah air kerap dibayangi stigma, bahwa tender hanyalah permainan angka di atas kertas, sementara pemenang sejati sudah ditentukan sejak awal. Lelang yang seharusnya menjadi panggung kompetisi sehat justru berubah menjadi ruang transaksional. Jika benar ada aktor yang mengklaim dekat dengan bupati maupun pejabat dinas, maka publik wajar bertanya: sejauh mana integritas panitia seleksi dijaga?

Baca juga:

Kasus Blora ini seharusnya menjadi momentum evaluasi menyeluruh. Pokja, LPSE, hingga inspektorat daerah mesti berani membuka dokumen evaluasi teknis secara transparan. Biarlah publik menilai apakah skor yang diberikan benar-benar obyektif. Transparansi adalah satu-satunya obat untuk meredam tudingan dan memulihkan kepercayaan.

Lebih jauh, dugaan adanya “fee 10 persen” adalah cermin dari penyakit lama bernama rente birokrasi. Selama pola ini masih dibiarkan, pengusaha jujur akan terus tersingkir, sementara proyek dikuasai pihak yang berani membayar lebih. Pada akhirnya, yang dirugikan bukan hanya perusahaan, melainkan masyarakat luas yang berhak atas hasil pembangunan berkualitas.

Kita tidak sedang berbicara tentang satu tender semata. Kita sedang membicarakan wajah tata kelola pemerintahan di tingkat daerah. Jika kasus ini dibiarkan, publik hanya akan semakin apatis. Namun, jika ditangani dengan serius, ini bisa menjadi preseden positif bahwa pemerintah daerah berani membersihkan dirinya dari praktik kotor.

Blora, dan daerah-daerah lain di Indonesia, berutang kepada rakyat, pengadaan barang dan jasa harus steril dari permainan belakang layar. Jika tidak, jalan-jalan yang disurvei sekalipun akan tetap rusak, sebab pondasi utamanya, integritas, sudah hancur sejak awal.

Share :